Jumat, 09 Juli 2010

cerpen

Cerpen
THE TRAGEDY OF TRAIN

Azan subuh berkumandang memecahkan kesunyian malam. Hari telah berganti menuju hari yang baru. Sang malaikat bertasbih dengan datangnya hari ini. Bintang-bintang bersinar terang bak malaikat yang mengintip dari celah-celah langit, seolah-olah memandangi setiap insan di muka bumi. Udara subuh yang membawa kesegaran membuat tubuh ini enggan bangun dari pembaringan. Pohon-pohon dan rerumputan berkilauan bak mutiara-mutiara yang bertaburan karena indahnya embun pagi.

Betapapun ku lukiskan keagungan-Mu dengan deretan huruf
Kekudusan-Mu tetap meliputi semua arwah
Engkau tetap yang Maha Agung
Sedang semua makna akan lebur dan mencair
Di tengah keagungan-Mu
Wahai Rabb-ku

Suara lonceng telah lima belas menit berbunyi sebelum azan subuh berkumandang. Gemercik suara wudhu para santri ikut memecahkan keheningan malam. Langkah derap kaki menuju masjid memberikan simbol semangat mereka untuk menyerahkan diri kepada Sang Khalik.
Setelah suara azan subuh memecahkan keheningan malam di senterio kota Lubuk Linggau. Kekhusukkan dalam penyerahan diri kepada Sang Khalik meliputi langit-langit kota. Kekhusukkan juga terasa di sebuah masjid kecil, tepatnya di sebuah pondok pesantren Al-Ikhlas yang berada di serambi kota Bumi Silampari.
***

April 2007, 07.00 WIB

Hari ini adalah hari yang terindah dan hari yang bahagia bagi semua santri. Usai pembagian raport. Kini, para santri bergegas ingin pulang kekampung halaman masing-masing. Kami sudah sangat rindu sama keluarga khususnya pada umi dan abi. Hawa asrama mendadak berubah, kebahagian meliputi setiap tempat. Sungguh kebahagian yang tidak dapat terukirkan, suka dan duka dalam sekejap menghilang tanpa jejak. Raut wajah kebahagian dan senyum kerinduan meliputi setiap urat dan darah yang mengalir.
Mentari pagi semakin meraba ke dasar bumi menyentuh ubun-ubunnya, kicauan burung ikut merayakan hari terindah itu. Semua santri menghampiri rumah ustad dan ustadzah untuk pamit pulang. Begitu juga aku mengantri untuk pamit. Kami memohon doá keselamatan atas kepulangan kami.
Derap langkah kami yang penuh semangat menghentakkan bumi. Lubuk hati kami dipenuhi rasa rindu yang sangat. Semangat itu mengantar kami ke depan gerbang pondok. Kakiku belum sempat keluar gerbang, terdengar suara yang memanggil-mangil namaku.
“Rofiq...Rofiq...Rofiq...,tunggu...!”
Ku hentikan derap langkah empat lima ku, ku tolehkan tubuh ke Arah suara tersebut.
“Rofiq, selamat atas prestasinya.”
“Syukron ya Azzam, sekarang kau kemana zam?”
“ Aku ke terminal atas, kau ke stasiun Kereta Api kan fiq?
“ Ya” jawabku dengan semangat
“udah kita pergi bareng ya.”
Semangat langkah kembali menghentakan bumi, dengan derap langkah menuju trotoar jalan Sudirman. Sambil menanti angkot, raut wajah penuh kegembiraan itu teriringi oleh lantunan musik dari bisingnya kendaraan yang lalu lalang.
***

“Duluan, fiq”
“ ya, hati-hati Zam, semoga selamat sampai tujuan.”
“Amin...assalamualaikum, sampai ketemu lagi, Fiq”
“walaikumsallam”
Ku tatap langkah Azzam penuh semangat, rona wajah kebahagian terukir jelas. Angkot yang ku tumpangi melaju pelan menjauhi langkah Azzam. Beberapa menit kemudian aku telah sampai di depan stasiun kereta api Bumi Silampari. Keadaannya penuh sesak, banyak penumpang yang mengantri di loket memasuki badan jalan sehingga membuat kemacetan.
Aku turut antri di belakang. Banyak calo yang menawari ku karcis, tetapi aku bersikeras untuk membeli di loket. Belum sempat aku menghampiri loket, seorang petugas menempelkan pengumuman “karcis habis”
Karena sudah terlalu lama mengantri dan semangat kerinduan pada kampung halaman ku begitu menggebu. Dengan berat hati, aku memutuskan untuk membeli karcis dari calo. Jelas harganya lebih mahal dari harga yang dijual di loket.
Setelah ku dapatkan karcis dari calo, aku pun bergegas mencari kursi. Ku lihat tujuan dan no kursi yang tertera pada karcis tersebut.Dengan penuh sesak akhirnya, aku mendapatkan tempat dudukku. Ku letakkan barang bawaan ku di atas penempatan barang, kemudian ku rebahkan tubuhku di kursi itu.
***

April 2007, 09:00 WIB

“kereta api selero tujuan Tebing Tinggi, Lahat, Muara Enim, Prabuhmulih dan Kertapati. Akan segara diberangkatkan, kepada seluruh penumpang yang masih berada di bawah diharapkan untuk naik, dan kepada para pengantar untuk segera turun.”

“Sebelum kereta api diberangkatkan marilah kita membaca do’a menurut agama dan kepercayaan masing-masing”.

“Kereta api selero akan diberangkatkan dari jalur satu.”

“Prit...prit...prit...”

Kereta api telah berjalan, keadaan di dalam penuh sesak. Banyak penumpang yang mendapat karcis tegak dan ada pula penumpang yang membayar di atas. Mereka enggan membeli karcis dengan alibi tujuan mereka dekat. Hawa panas dan sumpek membuat keadaan semakin mencekik.
Tidak jauh dari tempat dudukku ada seorang nenek yang berdiri. Semua penumpang yang duduk sepertinya tiada peduli, ada yang pura-pura tidur, membaca koran, memandang keluar jendela. Tak sedikit pun tergerak hati nurani mereka untuk menolong atau berbagi kebahagian kepada orang yang lebih tua.
Nurani ku berontak, hati ku menyesakkan bagai dililit oleh ikatan yang sangat kuat, dan bathin ku marah melihat keadaan seperti ini. “ Lihat...!lihatlah...! lihatlah nenek itu...! walau ia sudah tua, ia masih mampu untuk berdiri tidakkah kau peduli Rofiq, tidakkah kau peduli...! tidakkah kau peduli...!” bathin ku semakin berontak tak terbendung lagi.” Kau masih muda, kuat, apalagi...!”rontahan bathinku semakin meluap dan diriku semakin tidak tahan akan keadaan ini. Aku pun berdiri dan ku persilakkan nenek itu duduk menempati tempat dudukku.
“Silakkan nek, duduk di sini”
“Terima kasih nak, semoga Allah memberkahi dan melindungi mu”
“Amin”

Aku pun berdiri, ku tatap wajah nenek, tersirat kelegahan dan kebahagian terpancar dari raut muka yang sudah mulai rentah. Sesekali ia memandangi ku dengan senyum, aku pun membalas senyum bahagia nenek.
***

Keadaan gerbong semakin sesak dan panas. Ku langkahkan kaki ku menuju perbatasan sambungan antara gerbong CW 2 dan CW 3. Karena sesaknya, aku pun menyeberang ke gerbong CW 2. Di sini keadaannya lebih adem, udara masuk dengan derasnya. Sebenarnya hal seperti ini sangat membahayakan bagi para penumpang. Akan tetapi, aku tidak memperdulikannya.
Kereta api melaju dengan kencang, ku lihat pepohonan dan perbukitan yang berdiri dengan gagahnya, sungguh begitu kuasanya Sang Maha Pencipta, seolah-olah memberikan isyarat kepada manusia untuk jangan berlaku sombong. Lamunan ku terhentak oleh teguran seorang bapak separuh baya dengan penuh senyum.
“Mau kemana, Nak?”
“Pulang, Pak”
“Pulang ke Palembang”
“oh...gak Pak, saya pulang ke Lahat”
“Di Linggau sekolah ya”
“ Iya, Pak. Saya di Linggau merantau Pak”
“Itu bagus Nak, kalau kita merantau, kita bisa hidup mandiri, mengatur keuangan dan waktu. Hidup kita, kita sendiri yang menentukan. Jadi, jaga kepercayaan orang tua yang telah ia berikan kepada mu, bahagiakan mereka dengan prestasi, semangat, dan perubahan tingkah laku. Setiap orang tua tidak mengharapkan apapun dari anaknya. Mereka akan bahagia jika anaknya berhasil. Berjuanglah dan bersemangatlah Nak, buatlah orang tua mu bahagia.”

Perbincangan ku dengan seorang bapak semakin seru. Tidak hanya sebatas perkenalan. Bapak pun menceritakan pengalaman hidupnya yang penuh perjuangan panjang tanpa lelah. Sesekali ia memasukkan bumbu humor dalam perbincangan itu. Walaupun kebisingan dari suara serdadu roda kereta api dan kerasnya suara sangsakalanya. Perbincangan kami semakin akrab. Terkadang aku memalingkan wajah untuk menatap indahnya alam. Melihat begitu agungnya Sang Khalik menciptakan alam ini yang menjadi bayground kereta yang kami naiki. Kepenatan pun kini terbang bersama derasnya angin yang masuk.
***

Banyaknya penumpang di musim libur anak sekolah memang menambah sesak gerbong. Akan tetapi, semangat ingin pulang ke kampung halaman memang sudah menjadi tradisi masyarakat di Indonesia. Mungkin banyak orang yang merantau seperti aku atau ada alasan lain yang sama sekali aku tidak mengetahui.
Aku melihat ke luar menatap keindahan alam, kereta masih melaju kencang. Kini kereta melewati jembatan yang berada di Pedang, Muara Beliti, di bawahnya air mengalir dengan tenang begitu indah dan menyejukkan mata bagi siapa pun memandangnya. Perkampungan masyarakat desa menambah eloknya suasana.
Aku dan bapak masih berbincang-bincang, sesekali aku tertawa oleh lelucon humor bapak tersebut. “ Kre..k, Kre..k, Buu....rr,” Tiba-tiba terdengar suara dentuman yang sangat kuat seolah-olah sebuah benda besar jatuh ke dasar sungai. Tidak hanya itu kereta yang kami naiki tertarik kuat kebelakang, badan ku terhempas kuat, tanganku terluka dan kaki ku tak dapat menahan kuatnya tarikan itu. Dari kebingungan dan kejadian yang sama sekali tidak aku ketahui. Di selah-selah peristiwa itu terdengar keras oleh ku suara teriakkan meminta tolongan dan tangisan histeris.
Kereta terhenti, tetapi terdengar oleh ku suara gesekan benda yang sangat memekikkan gendang telinga. Tepat berada di belakang ku. Aku dan bapak serta orang-orang yang berada di perbatasan gerbong CW 2 melihat ke arah sumber suara tersebut. Beberapa menit kemudian kami melihat gerbong CW 3 lepas dari rantai sambungan baja dan kemudian terjun bebas serta terhenyak tak beraturan.
Dari sambungan gerbong CW 2, aku melihat ke bawah, empat gerbongan kereta yang jatuh bebas ke dasar Sungai Beliti. Aku hanya bisa diam, kejadian itu sungguh sangat tidak disangka. Sungguh manusia sangat angkuh terhadap kehidupan ini. “Inna lillahi wa inna illaihi rajiún (sesungguhnya kami miliki-Mu dan akan kembali kepada-Mu)”. Diriku tersadar, begitu tiada berdaya aku sebagai manusia.
***
“Manusia tidak akan mampu melawan setiap bencana, menaklukkan setiap derita dan mencegah setiap malapetaka dengan kekuatannya sendiri. Sebab manusia adalah makhluk yang lemah.” Kalimat itu terlintas halus di bathin ku. Sesungguhnya manusia mengembalikan semua hanya untuk Sang Khalik.
“Subhanallah, Allah melindungi dan menyelamatkan kita, Nak”
“...” (terdiam melihat tragedi ini)
“Kenapa diam, Nak?”
Aku masukkan tangan munggilku yang berlumur darah ke dalam kantong celanaku. Ku ambil karcis yang telah ku beli dari calo. Aku mencoba melihat dengan seksama karcis tersebut, tertera “Lubuk Linggau-Lahat, CW 3, No 20B”. Aku tak percaya bahkan sungguh tak percaya. Ku coba lagi untuk melihat dengan lebih seksama. Karcis tersebut tertera “Lubuk Linggau-Lahat, CW 3, No 20B”. Sungguh di luar dugaanku. “aku tak percaya ini....sungguh aku tak percaya....”bathinku terus bergumam seperti tiada mengenal tuhan. Terlintas oleh benakku seorang nenek yang duduk di tempat itu.
Aku berlari menuruni tepian sungai, tak peduli bebatuan yang tertanam, tak peduli lumpur yang mengenang. Yang terlintas oleh benakku hanyalah nenek...nenek...dan nenek. Air mataku mengalir dan bathinku menangis keras. Aku memasuki gerbong CW 3, keadaannya begitu parah beberapa bagian rusak total, dinding-dindingnya remuk karena hantaman bebatuan. Barang-barang penumpang berhamburan entah kemana. Aku tak dapat menjelaskan semuanya, begitu sangat menyedihkan keadaan di dalamnya. Bahkan air mata ku mengalir deras tanpa ku undang.
Beberapa penumpang selamat, tetapi sebagian telah di panggil Sang Khalik. Aku berharap dapat menemukan nenek dalam keadaan selamat. Aku terus mencari, hingga aku menemukan nenek berada di bawah tumpukan barang-barang milik penumpang. Aku berusaha membantu nenek untuk keluar dari tumpukan itu. “Tapi... tapi..., aku terlambat.” Nenek telah di jemput oleh Sang Khalik.
“Sungguh aku berdosa...”
“Sungguh aku berdosa...”
“Sungguh aku berdosa...”
“Sungguh aku semakin tidak mengerti...”
Rintihan bathinku semakin mengelora, “äku tidak mengerti, sungguh ini sangat menyakitkan, mengapa nenek yang Kau panggil, ya Rabb..., mengapa...mengapa..dan mengapa. Mengapa Kau selamatkan aku? Mengapa...ya Rabb... Seandainya aku masih duduk di sana, mungkinkah Kau akan menjemputku? Seharusnya bukan nenek. Sungguh...sungguh aku tak mengerti. Begitu lemahnya aku.” Pelan-pelan air mataku membasahi wajahku.
Aku menangis semakin menjadi. Langit memberikan aroma kematian, malaikat maut menghampiri setiap insan tak kenal usia. Bahkan orang yang kita cintai pun tak luput dari cengramannya. Hanya amal saja yang mampu menolong setiap insan.
***

Kereta yang Allah selamatkan dari cengraman bencana. Pelan-pelan meninggalkan tempat kejadian yang menyedihkan itu. Aku sama sekali belum mengerti. Aku dekap tasku yang telah berlumur darah. Aku terdiam duduk di perbatasan gerbong dengan beralaskan koran bekas. Semua terdiam tanpa suara hanya lantunan roda kereta dan sangsakalanya, seolah-olah menyayikan bait-bait kematian.
Aku terus memandangi jembatan itu, hingga punggungnya tak tampak lagi oleh ku. Semua alam bersedih melihat tragedi ini. Burung-burung menyayi pilu, awan berkabung. Malaikat maut turun ke bumi dengan garangnya.

Ketika matahari telah hilang
Sekujur tubuh telah kaku
Desahan nafas telah berhenti
Keluarga dan harta telah menjauh
Kini hanya amal menjadi teman





Ditulis oleh RAVICO, SKI ‘06
Awal ditulis di Lahat, pertengahan Februari 2009
Di selesaikan di Palembang
Jumát, 13 Maret 2009
Pukul 10.45 WIB









Mohon kritik dan sarannye ye. Hubungi aje penulisnye mahasiswa SKI ’06 Ravico, ok kan. Please deh!!! Eh..eh... ketinggalan satu, sms boleh kok. Kirim aje ke no ini 0852 68141401.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar